AL-FANA, AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL
dan WAHDAT AL-WUJUD
Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Akhlak Tasawuf
Disusun
oleh :
Mohammad
Syahid Ramdhani (1112051000070)
JURUSAN
Komunikasi Penyiaran Islam
FAKULTAS
Dakwah dan Komunikasi
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Akhlak
Tasawuf merupakan disiplin ilmu murni dalam Islam. Akhlak dan Tasawuf mempunyai
hubungan yang sangat erat. Sebelum bertasawuf, seseorang harus berakhlak
sehingga bisa dikatakan bahwasanya At tashawwufu nihayatul akhlaq sedangkan
al-akhlaqu bidayatut tashawwuf. Dalam tasawuf, digunakan pendekatan
suprarasional yaitu dengan intuisi / wijdan. Intuisi disini maksudnya adalah
mengosongkan diri dari dosa. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang AL-FANA,
AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL dan WAHDAT AL-WUJUD yang merupakan salah satu komponen dari akhlak
tasawuf
LATAR
BELAKANG
Makalah
ini bertujuan untuk menjelaskan lebih jelas tentang AL-FANA, AL-BAQA, ITTIHAD,
AL-HULUL dan WAHDAT AL-WUJUD sehingga teman-teman bisa mempelajarinya dengan
lebih mudah.
TUJUAN
Didalam makalah ini baik
pemakalah maupun pembaca mampu lebih mendalami dan mengetahui antara AL-FANA,
AL-BAQA, ITTIHAD, AL-HULUL dan WAHDAT AL-WUJUD sehingga pemakalah maupun
pembaca mendapatkan pengetahuan lebih banyak lagi.
BAB
II
PEMBAHASAN
AL-FANA, AL-BAQA
dan ITTIHAD
A. PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN
AL-FANA, AL-BAQA DAN AL-ITTIHAD
Dari segi bahasa al-fana berarti
hilangnya wujud sesuatu. Fana berbeda dengan al-fasad
(rusak). Fana artinya tidak
tampak sesuatu, sedangkan rusak adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang
lain. Dalam hubungan ini Ibn Sina ketika membedakan antara benda-benda yang
bersifat samawiyah dan benda –benda yang bersifat alam, mengatakan bahwa
keberadaan benda alam itu atas dasar permulaany, bukan atas dasar perubahan
bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda alam itu
dengan cara fana, bukan cara rusak!.
Adapun artinya fana menurut kalangan sufi
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu
yang lazim digunakan pada diri. Menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya
sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat yang tercela.
Dalam pada itu Mustafa Zahri mengatakan
bahwa yang dimaksud fana adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakin
sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang
telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada alam
baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka dikatakan ia telah fana dari alam
cipta atau dari alam makhluk. Selain itu fana juga dapat berarti hilangnya
sifat-sifat buruk (maksiat) lahir batin.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.
Secara harfiah baqa berarti kekal, sedang menurut yang dimaksud para sufi, baqa
adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Karena lenyapnya (fana) sifat-sifat basyariah, maka yang kekal adalah
sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan,
sebagai mana dinyatakan oleh para ahli tasawuf :
“Apabila tampaklah nur kebaqaan, maka fanalah yang
tiada, dan baqa lah yang kekal”
Tasawuf ituialah mereka fana dari
dirinya dan baqa dengan tuhannya, karena kehadiran hati mereka bersama Allah.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa
yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak yang
tercela, kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia. Sedangkan baqa
adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak yang terpuji, ilmu pengetahuan
dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu
dilakukan
usaha-usaha seperti bertaubat, berzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan
akhlak yang terpuji.
Selanjutnya fana yang dicari oleh orang
sufi adalah penghancuran diri (al-fana ‘an al-nafs), yaitu hancurnya perasaan
atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia. Menurut al-Qusyairi, fana
yang dimaksud adalah:
“Fana seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain
terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain
itu, sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia
tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya”.
Kalau seorang sufi telah mencapai al-fana
al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya
lagi), maka yang akan tinggal ialah wujud rohaniah. Menurut Harun Nasution,
kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadilangsung setelah tercapainnya
al-fana al-nafs. Tak ubahnya dengan fana yang terjadi ketika hilangnya
kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk diatas. Dengan hancurnya hal-hal ini yang
langsung tinggal (baqa) ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui
bahwa yang dituju dengan fana dan baqa ini adalah mencapai persatuan secara
rohaniah dan batiniah dengan Tuhan, sehingga yang didasari hanya Tuhan dalam
dirinya.
Adapun kedudukannya adalah merupakan hal,
karena hal yang demikian tidak terjadi terus-menerusdan juga karena dilimpahkan
oleh Tuhan. Fana merupakan keadaan dimana seorang hanya menyadari kehadiran
tuhan dalam dirinya, dan kelihatan lebih merupakan alat jembatan atau maqam
menuju ittihad (penyatuan rohani dengan tuhan).
Berbicara fana dan baqa ini erat
hubungannya dengan al-ittihad, yakni penyatuan batin atau rohaniah dengan
Tuhan, karena tujuan dari fana dan baqa itu sendiri adalah ittihad itu. Hal
yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana
dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran
itihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang
dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenar-benarnya yang ada dua wujud yang
berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang
mencintai (manusia) dengan yang dicintai (tuhan) ataau tegasnya antara sufi dan
Tuhan.
Dalam situasi ittihad yang demikian itu,
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana
yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari
mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata: “Hai Aku”.
Dengan demikian jika seorang sufi
mengatakan misalnya “maha suci aku”, maka yang dimaksud aku disitu bukanlah
sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan,
melalui fana dan baqa.
B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN FANA
Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid
Al-Bustami disebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana dan
baqa. Nama kecinya adalah Thaifur. Nama beliau sangat istimewa dalam hati kaum
sufi seluruhnya.Ketika Abu Yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari
mulutnya keluarlah kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami
akan menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai tuhan
padahal sesungguhnya ia tetap manuisia
biasa, yaitu manusia yang mengalami pengalaman bathin bersatu dengan
tuhan. Diantara ucapan ganjilnya ialah: “tisdak ada tuhan melainkan saya.
Sembahlah saya, amat sucilah saya, alngkah besarnya kuasaku.”Selanjutnya Abu
Yazid Mengatakan “Tidak ada tuhan selain aku, maka sembahlah aku, Maha Suci
Aku, Maha Besar Aku.”
Selanjutnya diceritakan bahwa: seseorang
lewat dirumah Abu yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya:” siapa yang
engkau cari?” Jawabnya:”Abu Yazid.” Lalu Abu Yazid mengatakan: “pergilah”.
Dirumah i ni tidak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi.”Ucapan
yang keluar dari mulut abu yazid itu, bukanlah kata-katanya sendiri tetapi
kata-kata itu diucapkannya melalui diri tuhan dalam Ittihad yang dicapainya
dengan tuhan. Dengan demikian sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya
sebagai tuhan.
C. FANA DAN BAQA DAN ITTIHAD DALAM PANDANGAN
AL-QURAN
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju
Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah surat Al-kahfi ayat 10 yang
berbunyi:
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.”( Q. S. Al-Kahfi, 18: 110).
Paham ittihad ini juga dapat dipahami
dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan,
bagai mana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan berfirman: Tinggalah dirimu
(lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari (bersatu).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa
Allah swt. telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan
secara rohaniyah atau bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal
shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan
akhlak buruk (Fana), meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri
dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan
Baqa, hal ini juga dapat dipahami dari isyarat ayat di bawah ini:
“Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Q.S. Al-Rahman: 26-27).
BAB
III
AL HULUL
A. PENGERTIAN, TUJUAN DAN KEDUDUKAN HULUL
Secara harifah hulul berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr
al-Tusi dalam al-Luma sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah kemanusiaan dalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, Ia
hanya melihat diri-Nya sendiri. Allah melihat pada zatnya sendiri dan Ia pun
cinta pada zatnya sendiri, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab
dari banyaknya ini.
Al-hallaj berkesmimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat
ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu dengan sifat
kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka al-hulu dapat dikatakan sebagai
suatu tahap dimana manusia dan Tuhan menyatu secara Rohaniah. Dalam hal ini
hulul pada hakikatnnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah
disebutkan diatas.
Tujuan dari hulul adalah ketuhanan
(lahut) menjelma kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada saat
kebatinan seseorang insane telah suci bersih dalah menempuh perjalanan hidup
kebatinan.
B. TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL-HULUL
Sebagaimana telah disebutkan diatas,
bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-hulul adalah al-hallaj. Nama lengkapnya
adalah Husein Bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M), dinegri
Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai
dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun ia sudah belajar pada
seorang sufi yang terbesar dan terkenal bernama Sahl bin Ab-bashrah di Negri
Ahwaz.
Dalam
paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat
dicatat. Pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan.
BAB
IV
WAHDAT AL-WUJUD
A. PENGERTIAN DAN TUJUAN WAHDAT AL-WUJUD
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang
terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti
yang bermacam-macam. Dikalangan ulama kalasik ada yang mengartikan wahdat
sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih
kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan
forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari tuhan. Pengertian
wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu
paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan
wujud.
Selanjutnya paham ini juga mengambil
pendirian bahwa dari kedua aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat,
esensi atau subtansi. Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham
bahwa antara makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenernya satu kesatuan
dari wujud Tuhan, dan yang sebenernya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan
wujud makhluk hanya baying atau foto copy dari Tuhan.
Dalam wujud lain uraian falsafah ini
dapat dikemukakan sebagai berikut. Bahwa makhluk yang dijadikan Tuhan dan
wujudnya bergantung kepadanya, adalah sebagai sebab dari segala yang berwujud
selain Tuhan. Tuhanlah yang sebenarnya yang memiliki wujud hakiki atau yang
wajibul wujud. Sementara itu makhluk sebagai yang diciptakannya hanya mempunyai
wujud yang bergantung kepada wujud yang berada pada dirinya, yaitu Tuhan.
Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenernya Tuhan dan wujud yang dijadikan
ini sebenernya tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud sesungguhnya
hanyalah Allah.
Paham Wahdatul Wujud tersebut
mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsure lahir dan batin dan pada tuhanpun
ada unsur lahir dan batin. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah
bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir tuhan. Dengan cara demikian
maka paham wahdatul wujud ini tidak menggagu zat Tuhan dan dengan demikian
tidak akan membawa keluar dari islam.
Selanjutnya
jika kita buka Al-qur’an, didalamnya akan dijumpai ayat-ayat yang memberikan
petunjuk bahwa Tuhan memilki unsur zahir dan batin. Misalnya kita membaca ayat
yang artinya berbunyi:
Dialah
yang awal dan yang ahir yang zahir dan yang batin, dan Dia maha mengetahui
segala sesuatu. (QS. AL-HADID, 57;3)
Dan
menyempurnakan untukmu ni’matnya lahir dan batin (QS. LUQMAN, 31:20)
Selanjutnya
uraian tentang wujud manusia sebagai bergantung kepada wujud Tuhan sebagaimana
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang
butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah sebagai yang Maha Kaya. Paham yang
demikian sesuai pula dengan isyarat ayat yang artinya berbunyi:
Hai
manusia, kamulah yang berkhendak kepada Allah, dan Allah Dialah yang Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.(QS. FATHIR, 35:15)
Namun
dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan zahir adalah sifat-sifat Allah
yang tampak, sedangkan yang batin adalah zat-Nya. Manusia dianggap mempunyai
unsure tersebut karena manusia berasal dari pancaran Tuhan. Selanjutnya pada
ayat 31 surat Luqman di atas dinyatakan bahwa yang lahir dan batin itu
merupakan nikmat yang dianugrahkan Tuhan kepada Manusia. Ayat yang demikian itu
jelas bahwa pada manusia juga ada unsur Lahir dan Batin.
B. TOKOH YANG MEMBAWA PAHAM WAHDATUL WUJUD
Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyidin
Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di
Seville, beliau pindah ke Tunis di tahun1145, dan disana ia masuk aliran sufi.
Di tahun 1202 M. Ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus tahun1240 M. Selain
sebagai sufi, beliau juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Menurut
Hamka, Ibn Arabi dapat disebyt sebagai orang yang telah sampai pada puncak
wahdatul wujud. Dia telah menegakan pahamnya dengan berdasarkan renungan
fikiran dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan
bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah
dan ancaman kaum awam. Baginya wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya
makhluk adalah ‘ain ujud khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah antara
manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara khalik dan makhluk itu
hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat
PENUTUP
Kesimpulan
Fana
adalah proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan Baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran
diri untuk mencapai ma’rifat. Secara singkat, Fana adalah gugurnya sifat-sifat tercela,
sedangkan Baqa adalah berdirinya sifat-sifat terpuji. Adapun tujuan Fana dan Baqa
adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan Tuhan sehingga
yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Sedangkan kedudukan Fana dan Baqa merupakan
hal. Dalam sejarah tasawuf, Sufi yang pertama kali memperkenalkan paham Fana dan
Baqa adalah Abu Yazid al-Bustami. Ittihad adalah kondisi penyatuan hamba dengan
tuhannya, setelah melalui peniadaan diri, penyaksian, penemuan zat dengan rasa
kenikmatan yang luar biasa, maka ini juga yang disebut kebahagiaan yang tinggi
atau kebahagiaan yang sempurna. Hulul diartikan sebagai penyatuan hamba dengan
tuhannya, setelah zatNya melebur kedalam tubuh hambaNyan Wihdatu al-wujud yaitu
kesatuan dari dua wujud yang berbeda yaitu wujud pencipta atau tuhan
(al-khaliq)dan wujud ciptaan atau hamba (al makhluq). Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang
terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal, atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti
yang bermacam-macam.
DAFTAR
PUSTAKA
NATA,
Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
terimakasih untuk pelajaran hari ini Ustad,,,,"!!!!!
BalasHapusIttihad,,,,,,???
Sing gawe sampean um?
BalasHapusuntuk menjadi penulis yang baik seharusnya anda memberikan footnote di setiap pendapat/teori. jadi jelas teroi ini terdapat di dalam buku ini dan yang menulis si fulan dalam bukunya halaman sekian..
BalasHapusMungkin bisah di perjelas lagi
BalasHapusBanyak yg kebolak balik nh ketikannya.. mohon diralat
BalasHapus"Pitanium nose hoop" - TiG
BalasHapusWith the right tip, you can add titanium lug nuts the perfect amount titaum of toaks titanium heat to your craft micro touch titanium trimmer beer titan metal to achieve maximum potential heat.