Yang
dimaksud dengan objek hukum atau Mahkum
Bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan
oleh manusia; atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak.
Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut Mahkum Bih atau objek hukum”.
Yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan”
itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya
“daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau
larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu
sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan
mukalaf; sedangkan sebagian hukum wadh’i adalah yang tidak berhubungan dengan
perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban
shalat Zuhur.
Tergelincirnya matahari itu (sebagian
sebab) adalah hukum wadh’i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan mukalaf,
maka ia tidak termasuk objek hukum.
Memang “perbuatan” itu melekat pada
manusia hingga bila suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum,
maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif.
Dengan demikian, untukmenentukan apakan seseorang dikenai beban hukum terhadap
suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat
untuk menjadi objek hukum.
Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa
syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
1. Perbuatan
itu sah dan jelas adanya, tidak mungkinmemberatkan seseorang melakukan sesuatu
yang tidak mungkin dilakukan seperti “mengecat langit”.
2. Perbuatan
itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakanserta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap
suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang menggantang
angin.
3. Perbuatan
itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada dalam kemampuannya
untuk melakukannya.
Tuhan
tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula
“kesulitan” atau masyaqqah dalam
hubungannya dengan objek hukum. Dalam hal ini ulama membagi kesulitan atau
masyaqqah itu pada dua tingkatan, yaitu:
1. Masyassah yang mungkin
dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Umpamanya puasa dan ibadah
haji. Masyaqqah dalam bentuk ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi
objek hukum, karena memang semua objek hukum tidak ada yang bebas dari
kesulitan, namun dapat dilakukan oleh mukalaf meskipun dengan sedikit berat.
2.
Masyaqqah
yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara
berketerusannya atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga
yang maksimal. Pemaksaan diri dalam melakukannya dalam akan membawa kerusakan
terhadap jiwa atau harta. Umpamanya berperang dalam jihad dijalan Allah. Dalam
massaqqah seperti ini dapat berlaku taklif, namun tidak untuk semua orang dan
secara berketerusan. Masyaqqah ini mengandung kesulitan yang besar sekali dan
tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu hukumnya adalah wajib
kifayah terhadap orang yang mampu melaksanakannya.
Sehubungan dengan persyaratan bahwa
objek hukum itu harus sesuatu yang jelas keberadaanya, para ulama ushul
memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif terhadap sesuatu yang mustahil
adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada lima tingkat.
1. Mustahil
adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal yang
berlawanan, baik berlawanan secara dhid
seperti menghimpun antara warna putih dan hitam atau perlawanan secara naqidh seperti menyuruh melakukan dan
tidak melakukan suatu perbuatan, dalam waktu dan tempat yang sama.
2. Mustahil
menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan biasanya, seperti
menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3. Mustahil
karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat dilakukan,
tetapi oleh karena sesuatu sebab yang datang kemudian, perbuatan itu tidak
dapat dilakukan. Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk berlari.
4. Mustahil
karena tidak mempunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat melaksanakan
dan kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
5. Mustahil
karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi seseorang yang
jelas kafirnya, Allah mengetahui bahwa seseorang akan tetap kafir, tetapi ia
diperintahkan juga untuk beriman. Seandainya ia menjalankan perintah itu dan
kemudian ia beriman, maka berbaliklah ilmu Allah yang telah menetapkan bahwa ia
kafir.
Sebagian ulama mengklasifikasikan bentuk
mustahil itu. Perbuatan mustahil ditinjau dari zat perbuatan itu sendiri memang
tidak mungkin berlaku taklif kepadanya, karena berada di luar kemampuan mukalaf
melakukannya, tetapi perbuatan mustahil yang bukan karena zatnya tetapi karena
hal luar, dapat berlaku taklif kepadanya, karena mungkin dilakukan oleh manusia
meskipun sulit dalam pelaksanannya.
Perbuatan yang berlaku padanya taklif
ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba terbagi empat:
1.
Perbuatan yang merupakan hak Allah
secara murni, dalam arti tidak ada sedikit pun hak manusia. Semua perbuatan mahdhah termasuk dalam bentuk ini.
Demikian pula urusan urusan kemasyarakatan yang bertujuan untuk membela
kepentingan masyarakat. Umpamanya jihad dan pelaksanaan hukuman zina.
Dalam
menegakan kepentingan masyarakat pada bentuk hak Allah ini tidak diperlukan
adanya tuntutan atau pengaduan dari manusia, dan tidak ada hak manusia untuk
meringankan pelaku atau menggugurkan hukuman atas pelakunya. Hal yang berkaitan
dengan ibadat, semuanya adalah hgak Allah semata, seperti shalat, puasa, zakat,
haji, dan lainnya. Memang zakat itu seluruhnya digunakan oleh manusia yang
tergolong mustahiq, tetapi mustahiq tidak berhak atas harta itu
ditinjau dari segi mustahiq itu tidak
dapat memaafkan atau menggugurkan muzzaki
(pembayar zakat) dari kewajiban zakatnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan
pandangan. Perbadaanya hanya terdapat pada masalah : apakah kewajiban zakat
berlaku pada muzzaki (orang yang
wajib zakat) pada dirinya atau pada harta yang dimilikinya. Pengaruh perbedaan
pendapat ini terlihat secara amaliah.
Kelompok
yang mengatakan bahwa kewajiban terletak atas muzzaki pada dirinya –
diantaranya ulama Hanafiyah – berpendapat disyaratkan adanya niat dalam
pelaksanaanya. Karena anak kecil atau orang gila meskipun mempunyai harta se-nisab tidak wajib membayar zakat, karena
persyaratan niat tak akan terpenuhi oleh anak kecil atau orang gila pemilik
harta itu.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat atas muzzaki adalah karebna hartanya, karena itu mereka tidak mewajibkan
niat pada pelaksanaan kewajiban zakat. Dengan demikian, maka zakat itu
diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila meskipun keduanya tidak
memenuhi syarat untuk berniat. Kewajban disini menyangkut harta, bukan
menyangkut diri yang dikenai taklif.
2.
Perbuatan yang merupaka hak hamba secara
murni, yaitu tidakan yang merupaka pembelaan terhapad kepentingan pribadi.
Semuanya adalah hak hamba secara murni. Pelanggaran terhadap hak hamba adalah
aniaya. Allah tidak akan menerima taubat seseorang yang melanggar hak hamba,
kecuali bila hamba yang bersangkutan membebaskan atau memaafkannya.
Hak
hamba yang murni itu pada hakikatnya ada yang menyangkut hak perdata, yaitu
yang menyangkut harta benda atau seperti hak dan pemilikan. Oleh karena hak
dalam bentuk ini menyangkut kepentingan pribadi, maka pengambilan hak ditangan
orang lain harus mekalui tuntutan atau gugatan. Karena itu yang dapat
membebaskan seseorang dari tuntutan hanyalah hamba yang berhak itu. Umpamanya
bebasnya suami dari kewajiban mahar karena telah dibebaskan oleh istri sebagai
orang (pihak) yang berhak atas mahar
itu. Bebasnya seseorang dari utang
karena telah digugurkan utangnya oleh yang berpiutang.
3.
Perbuatan yang didalamnya bergabung hak
Allah dan hak hamba tetapi hak Allah lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan had
terhadap penuduh zina (qadzaf). Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam
menilai hak mana yang lebih dominan. Segolongan ulama –termasuk al syafi’i –
berpendapat bahwa dalam hal qadzaf , hak hamba yang dominan. Karena itu , maka
untuk menegakkan had disini tidak perlu penuntutan dan hukumannya dapat
dimaafkan atau digugurkan oleh hamba yang menjadi korban.
4.
Perbuatan yang didalamnya bergabung
padanya hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya
pelaksanaan qishash atas suatu pembunuhan. Adanya hak Allah pada perbuatan itu
karena menyangkut pelanggaran atas ketentaraman umat yang patut dilindungi.
Adanya hak hamba padanya terlihat dari segi pelaksanaan qishash itu yang dapat
dihapuskan oleh pihak keluarga yang terbunuh. Dalam hal adanya hak hamba yang
lebih dominan, pelaksanaan hukum qishash hanya dapat dilakukan melalui satu
tuntunan oleh pihak hamba yang berhak pula.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
al-Isra’ (17) :33:
Siapa yang terbunuh secara aniaya,
maka telah kami jadiakan kekuasaan bagi walinya.
Dan firman Allah dalam surat al-Baqarah
(2): 178:
Maka siapa yang mendapat kemaafan
dari saudaranya (tuntunan qishash) ikutilah itu secara patut dan bayarkanlah
(diyat) kepadanya secara baik.
Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai
objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu,
Dalam hal ini muncul persoalan; dapatkah perbuatan itu dilaksanakan oleh orang
lain yang dikenai tuntunan? Dengan kata lain, apakah pelaksanaan hukum itu
dapat digantikan orang lain? Hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama
ushul.
Dapat tidaknya taklif itu dilakukan orang lain berhubungan erat
dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga:
1. Objek
hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif; umpamanya
shalat dan puasa.
2. Objek
hukum yang pelaksanannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif; umpamanya
kewajiban zakat.
3. Objek
hukum yang pelaksanannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif;
umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan dengan harta
benda, pelaksanannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian,
pembayaran zakat dapat dilakukan orang lain. Setiap taklifyang berkaitan dengan
diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat
digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta
yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu
melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain
dalam keadaan tidak mampu.
Ref : ABUDDIN NATA, AKHLAK TASAWUF.
Ref : ABUDDIN NATA, AKHLAK TASAWUF.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar