Jumat, 16 November 2012

Objek Hukum (Mahkum Bih)


Yang dimaksud dengan objek hukum atau Mahkum Bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia; atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut Mahkum Bih atau objek hukum”. Yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
      Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukalaf; sedangkan sebagian hukum wadh’i adalah yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahari untuk masuknya kewajiban shalat Zuhur.
      Tergelincirnya matahari itu (sebagian sebab) adalah hukum wadh’i dan karena ia tidak menyangkut perbuatan mukalaf, maka ia tidak termasuk objek hukum.
      Memang “perbuatan” itu melekat pada manusia hingga bila suatu perbuatan telah memenuhi syarat sebagai objek hukum, maka berlaku pada manusia yang mempunyai perbuatan itu beban hukum atau taklif. Dengan demikian, untukmenentukan apakan seseorang dikenai beban hukum terhadap suatu perbuatan, tergantung pada apakah perbuatannya itu telah memenuhi syarat untuk menjadi objek hukum.
      Para ahli ushul fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum, yaitu:
1.      Perbuatan itu sah dan jelas adanya, tidak mungkinmemberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan seperti “mengecat langit”.
2.      Perbuatan itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakanserta dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya. Tidak mungkin berlaku taklif terhadap suatu perbuatan yang tidak jelas. Umpamanya menyuruh seseorang menggantang angin.
3.      Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukannya.
Tuhan tidak menginginkan manusia dalam kesulitan. Selanjutnya menjadi pembahasan pula “kesulitan” atau masyaqqah dalam hubungannya dengan objek hukum. Dalam hal ini ulama membagi kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan, yaitu:
1.      Masyassah yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Umpamanya puasa dan ibadah haji. Masyaqqah dalam bentuk ini tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi objek hukum, karena memang semua objek hukum tidak ada yang bebas dari kesulitan, namun dapat dilakukan oleh mukalaf meskipun dengan sedikit berat.
2.      Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melakukannya secara berketerusannya atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Pemaksaan diri dalam melakukannya dalam akan membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta. Umpamanya berperang dalam jihad dijalan Allah. Dalam massaqqah seperti ini dapat berlaku taklif, namun tidak untuk semua orang dan secara berketerusan. Masyaqqah ini mengandung kesulitan yang besar sekali dan tidak semua orang mampu mengerjakannya. Karena itu hukumnya adalah wajib kifayah terhadap orang yang mampu melaksanakannya.

       Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas keberadaanya, para ulama ushul memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif terhadap sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada lima tingkat.
1.      Mustahil adanya menurut zat perbuatan itu sendiri, seperti menghimpun dua hal yang berlawanan, baik berlawanan secara dhid seperti menghimpun antara warna putih dan hitam atau perlawanan secara naqidh seperti menyuruh melakukan dan tidak melakukan suatu perbuatan, dalam waktu dan tempat yang sama.
2.      Mustahil menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan biasanya, seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
3.      Mustahil karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat dilakukan, tetapi oleh karena sesuatu sebab yang datang kemudian, perbuatan itu tidak dapat dilakukan. Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk berlari.
4.      Mustahil karena tidak mempunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat melaksanakan dan kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
5.      Mustahil karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi seseorang yang jelas kafirnya, Allah mengetahui bahwa seseorang akan tetap kafir, tetapi ia diperintahkan juga untuk beriman. Seandainya ia menjalankan perintah itu dan kemudian ia beriman, maka berbaliklah ilmu Allah yang telah menetapkan bahwa ia kafir.
      Sebagian ulama mengklasifikasikan bentuk mustahil itu. Perbuatan mustahil ditinjau dari zat perbuatan itu sendiri memang tidak mungkin berlaku taklif kepadanya, karena berada di luar kemampuan mukalaf melakukannya, tetapi perbuatan mustahil yang bukan karena zatnya tetapi karena hal luar, dapat berlaku taklif kepadanya, karena mungkin dilakukan oleh manusia meskipun sulit dalam pelaksanannya.
      Perbuatan yang berlaku padanya taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba terbagi empat:
1.      Perbuatan yang merupakan hak Allah secara murni, dalam arti tidak ada sedikit pun hak manusia. Semua perbuatan mahdhah termasuk dalam bentuk ini. Demikian pula urusan urusan kemasyarakatan yang bertujuan untuk membela kepentingan masyarakat. Umpamanya jihad dan pelaksanaan hukuman zina.
Dalam menegakan kepentingan masyarakat pada bentuk hak Allah ini tidak diperlukan adanya tuntutan atau pengaduan dari manusia, dan tidak ada hak manusia untuk meringankan pelaku atau menggugurkan hukuman atas pelakunya. Hal yang berkaitan dengan ibadat, semuanya adalah hgak Allah semata, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Memang zakat itu seluruhnya digunakan oleh manusia yang tergolong mustahiq, tetapi mustahiq tidak berhak atas harta itu ditinjau dari segi mustahiq itu tidak dapat memaafkan atau menggugurkan muzzaki (pembayar zakat) dari kewajiban zakatnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pandangan. Perbadaanya hanya terdapat pada masalah : apakah kewajiban zakat berlaku pada muzzaki (orang yang wajib zakat) pada dirinya atau pada harta yang dimilikinya. Pengaruh perbedaan pendapat ini terlihat secara amaliah.
Kelompok yang mengatakan bahwa kewajiban terletak atas muzzaki pada dirinya – diantaranya ulama Hanafiyah – berpendapat disyaratkan adanya niat dalam pelaksanaanya. Karena anak kecil atau orang gila meskipun mempunyai harta se-nisab tidak wajib membayar zakat, karena persyaratan niat tak akan terpenuhi oleh anak kecil atau orang gila pemilik harta itu.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat atas muzzaki adalah karebna hartanya, karena itu mereka tidak mewajibkan niat pada pelaksanaan kewajiban zakat. Dengan demikian, maka zakat itu diwajibkan atas harta anak kecil dan orang gila meskipun keduanya tidak memenuhi syarat untuk berniat. Kewajban disini menyangkut harta, bukan menyangkut diri yang dikenai taklif.

2.      Perbuatan yang merupaka hak hamba secara murni, yaitu tidakan yang merupaka pembelaan terhapad kepentingan pribadi. Semuanya adalah hak hamba secara murni. Pelanggaran terhadap hak hamba adalah aniaya. Allah tidak akan menerima taubat seseorang yang melanggar hak hamba, kecuali bila hamba yang bersangkutan membebaskan atau memaafkannya.
Hak hamba yang murni itu pada hakikatnya ada yang menyangkut hak perdata, yaitu yang menyangkut harta benda atau seperti hak dan pemilikan. Oleh karena hak dalam bentuk ini menyangkut kepentingan pribadi, maka pengambilan hak ditangan orang lain harus mekalui tuntutan atau gugatan. Karena itu yang dapat membebaskan seseorang dari tuntutan hanyalah hamba yang berhak itu. Umpamanya bebasnya suami dari kewajiban mahar karena telah dibebaskan oleh istri sebagai orang  (pihak) yang berhak atas mahar itu. Bebasnya seseorang dari utang  karena telah digugurkan utangnya oleh yang berpiutang.
3.      Perbuatan yang didalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba tetapi hak Allah lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan had terhadap penuduh zina (qadzaf). Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam menilai hak mana yang lebih dominan. Segolongan ulama –termasuk al syafi’i – berpendapat bahwa dalam hal qadzaf , hak hamba yang dominan. Karena itu , maka untuk menegakkan had disini tidak perlu penuntutan dan hukumannya dapat dimaafkan atau digugurkan oleh hamba yang menjadi korban.
4.      Perbuatan yang didalamnya bergabung padanya hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan. Umpamanya pelaksanaan qishash atas suatu pembunuhan. Adanya hak Allah pada perbuatan itu karena menyangkut pelanggaran atas ketentaraman umat yang patut dilindungi. Adanya hak hamba padanya terlihat dari segi pelaksanaan qishash itu yang dapat dihapuskan oleh pihak keluarga yang terbunuh. Dalam hal adanya hak hamba yang lebih dominan, pelaksanaan hukum qishash hanya dapat dilakukan melalui satu tuntunan oleh pihak hamba yang berhak pula.
     Hal ini sesuai dengan firman Allah surat al-Isra’ (17) :33:
Siapa yang terbunuh secara aniaya, maka telah kami jadiakan kekuasaan bagi walinya.
     Dan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 178:
Maka siapa yang mendapat kemaafan dari saudaranya (tuntunan qishash) ikutilah itu secara patut dan bayarkanlah (diyat) kepadanya secara baik.
       Selanjutnya, setiap perbuatan sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif itu, Dalam hal ini muncul persoalan; dapatkah perbuatan itu dilaksanakan oleh orang lain yang dikenai tuntunan? Dengan kata lain, apakah pelaksanaan hukum itu dapat digantikan orang lain? Hal ini menjadi pembicaraan dikalangan ulama ushul.
      Dapat tidaknya taklif  itu dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan objek hukum. Dalam hal ini objek hukum terbagi tiga:
1.      Objek hukum yang pelaksanaanya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif; umpamanya shalat dan puasa.
2.      Objek hukum yang pelaksanannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif; umpamanya kewajiban zakat.
3.      Objek hukum yang pelaksanannya mengenai diri pribadi dan harta dari pelaku taklif; umpamanya kewajiban haji.
      Setiap taklif yang berkaitan dengan harta benda, pelaksanannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan demikian, pembayaran zakat dapat dilakukan orang lain. Setiap taklifyang berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh yang dikenai taklif dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada orang lain dalam keadaan tidak mampu.
 Ref : ABUDDIN NATA, AKHLAK TASAWUF.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar